Selasa, 24 Mei 2011

PERMENDIKNAS (PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL) RI

0 komentar

Bagi rekan-rekan yang ingin memerlukan permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional)sebagai acuan untuk melaksanakan aktifitas dan kegiatan formal di sekolah, mungkin hal ini dapat di jadikan untuk pedoman pelaksanaan, semoga bermafaat...


1. PERMENDIKNAS No. 39 TAHUN 2009: BEBAN KERJA GURU...
2. PERMENDIKNAS No. 11 TAHUN 2005: BUKU TEKS PELAJARAN...
3. PERMENDIKNAS No. 19 TAHUN 2007: STANDAR PENGELOLAAN...
4. PERMENDIKNAS No. 18 TAHUN 2007: SERTFIKASI GURU...
5. PERMENDIKNAS No. 4 TAHUN 2008: KALAENDER PERHELATAN PENDIDIKAN...
6. PERMENDIKNAS No. 16 TAHUN 2007: STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI GURU...
7. PERMENDIKNAS No. 12 TAHUN 2007: PENGAWAS SEKOLAH...
8. PERMENDIKNAS No. 39 TAHUN 2008: PEMBINAAN KESISWAAN...
9. PERMENDIKNAS No. 20 TAHUN 2007: STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN...
10. PERMENDIKNAS No. 24 TAHUN 2007: STANDAR SARANA DAN PRASARANA...
11. UNDANG-UNDANG No. 14 TAHUN 2005: UNDANG UNDANG GURU DAN DOSEN...

Baca Selengkapnya......

RINCIAN TUGAS PERSONIL SEKOLAH YANG MASIH MEMAKAI WAKASEK UMUM

0 komentar

Memang gampang-gampang sulit untuk menerapkan suatu teori yang pas untuk kelangsungan dan kesenergisan organisaasi sekolah agar semuanya dapat berjalan lancar dan terkendali. Banyak teori yang mengemukan hal ini, ada yang disusatu sekolah mnerapkan pembagian atau rincian tugas yang terdiri dari Kepsek dan 4 (empat) wakasek baik dari wakasek Kurikulum, Kesiswaan, Sarana dan Prasarana serta Humas.
Disini ada suatu contoh rincian tugas yang masih memakai uraian tugas dari Kepsek, Wakasek Umum dan 4 (empat) urusan baik dari urusan Kurikulum, Kesiswaan, Sarana dan Prasarana serta Humas.

Aada baiknya kita menyimak hal ini, mungkin kita bisa menyempurnakannya dan kemudian memakainya setelah kita modivikasi sesuai dengan keadaan riil di lapangan.

TUGAS KEPALA SEKOLAH ANTARA LAIN:

1. Tugas Umum Kepala Sekolah
• Mengatur Administrasi Kantor
• Mengatur Administrasi Kurikulum
• Mengatur Administrasi Kesiswaan
• Mengatur Administrasi Perlengkapan
• Mengatur Pembinaan Hubungan Masyarakat
• Mengatur Administrasi Kepegawaian
• Mengatur Administrasi Keuangan
• Mengatur Administrasi Perpustakaan

2. Tugas Harian Kepala Sekolah
• Memeriksa daftar hadir guru, pegawai tata usaha
• Mengatur dan memeriksa kegiatan 6K
• Memeriksa program satuan pelajaran dan perangkat KBM
• Menyelesaikan surat-menyurat, menerima tamu sekolah
• Mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses KBM
3. Tugas Mingguan Kepala Sekolah
• Upacara bendera Senin dan hari besar lainnya
• Senam pagi hari Jumat bersama guru dan siswa
• Memeriksa agenda dan surat-menyurat
• Melakukan rapat mingguan dengan wakil dan guru pengelola kegiatan tertentu untuk membahas jalannya proses KBM
• Memeriksa keuangan, biaya rutin/UYHD, dan dana Komite sekolah
• Mengatur dan menyediakan keperluan perlengkapan kantor

4. Tugas Bulanan Kepala Sekolah
• Kegiatan/Pemeriksaan awal bulan
- buku daftar kelas dan absensi siswa
- buku daftar hadir guru dan pegawai
- kumpulan bahan evaluasi dan analisa
- kumpulan program satuan pelajaran
- pencapaian target kurikulum dan daya serap
- catatan bimbingan dan penyuluhan
-memberikan petunjuk kepada guru tentang siswa yang memerlukan perhatian/pembinaan khusus
• Kegiatan/Pemeriksaan akhir bulan
- penutupan buku kas, dan laporan pertanggungjawaban
- evaluasi persediaan dan penggunaan alat/bahan praktik

5. Tugas Awal Tahun Kepala Sekolah
Menetapkan rencana kegiatan sekolah pada tahun pelajaran yang akan datang, meliputi:
• pendataan kebutuhan guru
• penetapan tugas mengajar guru
• memeriksa program satuan pelajaran
• memeriksa keperluan buku pelajaran siswa/buku pegangan guru
• melaksanakan rapat dinas awal tahun

6. Tugas Akhir Tahun Kepala Sekolah
• menyelenggarakan penutupan buku iventaris dan keuangan
• menyelenggarakan Ebtanas/Ebta atau Ujian Akhir Nasional/Sekolah
• menyelenggarakan persiapan kenaikan kelas siswa:
- pengisian daftar nilai/legger
- penyiapan bahan rapat kenaikan kelas
- pengisian buku rapor siswa
• menyelenggarakan evaluasi pelaksanaan KBM tahun pelajaran ber-sangkutan
• menyelenggarakan penyusunan rencana keuangan (RAPBS) tahun yang akan datang
• menyelenggarakan penyusunan rencana perbaikan dan pemelihara¬an sekolah dan alat bantu pendidikan
• menyelenggarakan penyusunan pelaporan akhir tahun
• menyiapkan kegiatan penerimaan siswa baru

TUGAS WAKIL KEPALA SEKOLAH:

Tugas Wakil Kepala/Pembantu Umum
• mewakili Kepala Sekolah bila berhalangan
• membantu Kepala Sekolah dalam perencanaan, pengorganisasian, peng-arahan, pengawasan, penilaian, pengumpulan data, pelaporan
• membantu kepala dalam mengkoordinir semua kegiatan sekolah

TUGAS URUSAN KURIKULUM SEKOLAH:

• penyusunan jadwal kegiatan sekolah
• penyusunan pembagian tugas guru
• penyusunan jadwal pelajaran
• penyusunan jadwal evaluasi belajar tiap semester dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir atau Ujian Akhir (UAN)
• membantu Kepala Sekolah dalam hal supervisi
• kegiatan lain yang berhubungan dengan pengajaran
• bersama Pengelola Perpustakaan melakukan kegiatan: Penyusunan program, perencanaan pengadaan buku/bahan pustaka; pelayanan, pengembangan, penyusunan laporan


TUGAS URUSAN HUMAS SEKOLAH:

• Menyusun program Humas, pengaturan dan penyelenggaraan hubungan sekolah dengan orang tua murid, pembinaan hubungan antar sekolah dengan Pengurus Komite Sekolah, pengembangan hubungan antar sekolah dengan lembaga pemerintah/dunia usaha dan lembaga sosial lainnya.
• bersama bagian kesejahteraan guru dan karyawan, melakukan kegiatan peningkatan kesejahteraan guru dan karyawan
• bersama pengurus koperasi, berusaha meningkatkan kegiatan perkoperasian
• kegiatan lain yang relevan

TUGAS URUSAN KESISWAAN SEKOLAH:

• Menyusun program kesiswaan, melaksanakan bimbingan, pengarahan dan pengen¬dalian kegiatan Siswa/OSIS dalam rangka menegakan disiplin dan tata tertib sekolah, memberikan pengarahan dalam pemilihan pengurus OSIS.
• bersama Pembina Harian OSIS melaksanakan kegiatan:
- menyusun program kegiatan OSIS
- membina keorganisasian OSIS, koperasi siswa
- kegiatan lain yang relevan
• bersama Staf Bimbingan Penyuluhan (BP) melaksanakan kegiatan:
- menyusun program kegiatan BP,
- melaksanakan, dan mengevaluasi pelaksanaan Bimbingan Penyuluhan
- koordinasi dengan wali-wali kelas dalam rangka kegiatan BP
- pembuatan statistik hasil evaluasi BP
- kegiatan lain yang relevan
• bersama Pembina UKS melaksanakan kegiatan:
- membuat program Usaha Kesehatan Sekolah
- melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan UKS
- kegiatan lain yang relevan
• bersama Pembina 6K melaksanakan kegiatan:
- penyususnan program kegiatan 6K
- mengadakan kerja sama dengan wali kelas, OSIS dan pihak sekolah lainnya untuk menggalakan 6K
- mengawasi pelaksanaan tata tertib siswa
- mengawasi pelaksanaan kebersihan
- mengatur dan melaksanakan penghijauan
- menciptakan suasana kekeluargaan yang mantap
- kegiatan lain yang relevan




TUGAS URUSAN SARANA/PRASARANA SEKOLAH:

• Menyusun program Sarana/Prasarana sekolah, pengaturan dan pendaya-gunaan sarana/prasarana sekolah seperti:
• bersama bendahara UYHD menyiapkan RAPBS satu tahun kedepan;
• memberikan masukkan dalam penyusunan rencana kerja Komite Sekolah terkait dengan bantuan sarana/prasarana
• bersama bendahara DPP mengatur penyediaan sarana/alat peleng-kap KBM
• mendayagunakan staf tata usaha bagian inventarisasi barang;
• pemeliharaan, pendayagunaan sarana dan prasarana;

Tugas Bendaharawan/Keuangan
- mengelola pembukuan keuangan secara tertib
- membuat surat permintaan pembayaran (SPP)
- mengelola pembelanjaan sekolah
- membuat surat pertanggungjawaban (SPJ) lengkap dengan tanda bukti pengeluaran uang

TUGAS GURU SEKOLAH:

Tugas utama guru adalah melaksanakan proses Kegiatan Belajar Mengajar di kelas. Agar tugas ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka guru perlu me-lakukan kegiatan:
• menyusun dan membuat perangkat mengajar, Prota, Prosem, SP, RP
• melaksanakan kegiatan pengajaran
• melaksanakan evaluasi proses pengajaran
• melaksanakan analisis hasil evaluasi proses pengajaran
• menyusun dan melaksanakan proses perbaikan/pengayaan
• mengadakan pengembangan bidang pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya
• melaporkan pelaksanaan program KBM/pengajaran secara berkala
• membantu Kepala Sekolah dalam tugas-tugas tertentu

TUGAS WALIKELAS:

Bertanggung jawab terhadap pengelolaan kelas, baik teknis adminis¬trarif maupun edukatif, dimana Wali Kelas membantu Kepala Sekolah dalam kegiatan-kegiatan:
• pengelolaan kelas yang dibimbing;
• penyelenggaraan administrasi kelas yang meliputi:
denah tempat duduk siswa, papan absensi siswa, daftar pelajaran siswa, daftar tugas kebersihan kelas, buku absesnsi siswa, buku kegiatan belajar-mengajar (kemajuan belajar), dan tata tertib kelas;
• penyusunan/pembuatan statistik bulanan siswa;
• pengisian daftar kolektif nilai harian dan semester siswa;
• pembuatan catatan khusus tentang siswa;
• pencatatan mutasi siswa;
• pengisian Buku Laporan Pendidikan (Rapor), dan pembagian Rapor;
• melaksanakan kegiatan lain yang relevan;

TUGAS GURU BIMBINGAN PENYULUHAN:

Guru yang diberi tugas sebagai guru Bimbingan Penyuluhan (BP) membantu Kepala Sekolah dalam kegiatan-kegiatan:
• Penyusunan program dan pelaksanaan bimbingan penyuluhan;
• Koordinasi dengan wali kelas dalam rangka mengatasi masalah-masalah yang dihadapai oleh siswa tentang kesulitan belajar;
• Memberikan layanan bimbingan penyuluhan kepada siswa agar lebih ber-prestasi dalam kegiatan belajar;
• Mengadakan penilaian pelaksanaan BP;
• Menyusun statistik hasil penilaian BP;
• Melaksanakan kegiatan lain yang relevan;
• Menyusun laporan pelaksanaan BP secara berkala.





TUGAS PENGELOLA LABORATORIUM:

Guru yang ditunjuk Kepala Sekola sebagai Pengelola Laboratorium/Bengkel melaksanakan kegiatan-kegiatan:
• Membantu perencanaan/pengelolaan ruang laboratorium/praktik;
• Mempersiapkan ruang laboratorium/praktek untuk siswa;
• Memelihara/menyimpan bahan laboratorium/praktik;
• Inventarisasi bahan/alat laboratorium/praktik;
• Pengawasan pelaksanaan praktik;
• Mengetahui kegunaan dan cara kerja setiap peralatan yang menja¬di we-wenangnya;
• Melaksanakan kegiatan lain yang relevan;
• Menyusun laporan kegiatan laboratorium/praktik secara berkala.

TUGAS KEPALA TATA USAHA:

Tata usaha sekolah dipimpin seorang Kepala Tata Usaha, mempunyai tugas melaksanakan ketatausahaan sekolah dan bertanggung jawab kepada Kepala Sekolah. Kegiatan-kegiatannya diatur tersendiri sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan/berlaku, seperti:
• menyusun program tata usaha sekolah
• menyusun program keuangan sekolah
• mengurus administrasi kepegawaian
• mengurus administrasi kesiswaan
• membina karier pegawai tata usaha sekolah
• menyusun rencana perlengkapan sekolah
• menyusun dan menyajikan data/statistik sekolah
• menyusun dan melaporkan kegiatan ketatausahaan sekolah
• Melakukan kegiatan yang relevan dengan domlak dan juknis ketatausahaan sekolah





TUGAS PENGELOLA PERPUSTAKAAN:

Guru yang ditugaskan sebagai Pengelola Perpustakaan ditugaskan mem-bantu Kepala Sekolah dalam kegiatan-kegiatan :
• Perencanaan pengadaan buku/bahan perpustakaan;
• Pengurusan pelayanan perpustakaan;
• Perencanaan pengembangan perpustakaan;
• Pemeliharaan dan perbaikan buku/bahan perpustakaan;
• Inventarisasi buku-buku/bahan perpustakaan;
• Penyimpanan buku-buku perpustakaan;
• Melaksanakan kegiatan lain yang relevan;
• Menyusun laporan kegiatan perpustakaan secara berkala.

Baca Selengkapnya......

Senin, 23 Mei 2011

BEBERAPA HAL TENTANG MBS

0 komentar

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan pendidikan yang amat populer. Para pejabat sering menyampaikannya dalam berbagai kesempatan pidato di depan para guru dan kepala sekolah. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan.
Tetapi, apakah semua pemangku kepentingan (stakeholder) itu mamang benar-benar memahami apa dan bagaimana MBS dilaksanakan di sekolah? Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM).


MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.

Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).

Terkait dengan penerapan MBS, pertanyaan yang sering diajukan adalah tentang hasil penelitian tentang MBS. Apa saja temuan hasil penelitian tentang penerapan MBS? Benarkah penerapan MBS memang benar-benar dapat mendongkrak mutu pendidikan? Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Sebagian besar isi tulisan ini disarikan dari artikel bertajuk ”Improving The Quality of Education Through School-Based Management: Learning From International Experiences”, oleh Anton De Grouwe dalam jurnal International Review of Education. Tulisan ini, sudah tentu juga diberi bumbu-bumbu contoh yang terjadi di negeri sendiri.

Empat Model MBS

Leithwood dan Menzies (1998b) menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu:
1. Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi dari administrasi pendidikan.
2. Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
3. Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
4. Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.

Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi, model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan organisasi, termasuk kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan sekolah. Model kedua, para guru telah dilibatkan dalam manajemen sekolah. Model ketiga, masyarakat dan orangtua siswa telah dilibatkan dalam kegiatan sekolah. Model keempat adalah model ideal yang diharapkan. Model keempat ini merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan mutu pendidikan.

Sejarah MBS

Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negar bagian di Australia, dan Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali pada tahun 1970-an telah menerapkan kebijakan MBS dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara Asia, termasuk wilayah Hongkong, Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara berkembang lainnya di seluruh dunia. Penerapan MBS, baik di negara maju, apalagi di negara yang sedang berkembang, mengalami pro dan kontra, dan bahkan dilema.

Pro dan kontra MBS dan Dampak Negatif MBS

Ada beberapa hasil penelitian yang dapat digolongkan sebagai pihak yang pro dan kontra terhadap MBS. Sebagai contoh, Dimmock (1993) dan Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki lima keunggulan sebagai berikut:
1. MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
2. MBS adalah lebih relevan.
3. MBS adalah tidak birokratis.
4. MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
5. MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih besar.

Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar) harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.

Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern (demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di sekolah, seperti dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah dan Komite Sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk supervisi yang positif, tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan, tidak sedikit kepala sekolah yang dikejar-kejar ’wartawan amplop” yang sering nongkrong di sekolah untuk menunggu datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapakan MBS di sekolah pada sisi yang lain menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling bawah ini. Itulah sebabnya, ada kepala sekolah yang kemudian tidak mau pekerjaan manajemen yang berat ini, karena alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional (instructional leader) atau pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader) menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan teknis administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari. Dengan beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa kepala sekolah di SD yang terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), karena SD tidak memiliki staf administrasi sebagaimana di SMP dan SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi dilema (Dempster, 2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi kepala sekolah (Whitaker, 2003 dan William, 2003).

Penerapan MBS ternyata juga sarat dengan masalah bias gender. Limerick dan Anderson, 1999) menengarai adanya masalah bias gender, karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan manajemen tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant dari pemerintah. Alasannya sudah jelas, karena urusan teknis edukatif di sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.

Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu. Hal yang sama pun terjadi di negara maju seperti di negara bagian Australia. Representasi dari masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi kepengurusan Komite Sekolah (Ferguson, 1998).

Dampak negatif yang sama terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli kekuasaan di level pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir tidak punya pengetahuan untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh sekolah. Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orangtua siswa tersebut sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli kekuasaan pada level pemerintah daerah.

Dampak MBS Terhadap Mutu Pendidikan

Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.

Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.

Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999) Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.

Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS

Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.

Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

Kedua, membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.

Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.

Keempat, mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

Refleksi

Masih banyak lagi sebenarnya hasil penelitian tentang penerapan MBS yang belum dapat dipaparkan dalam tulisan singkat ini. MBS telah banyak diterapkan di sekolah, bukan hanya di negara maju, tetapi juga telah menyebar di negara-negara sedang berkembang. Penerapan MBS telah banyak menjanjikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Penerapan MBS akan berhasil jika diberikan prakondisi dengan membangun kapasitas dan komitmen sekolah, termasuk semua pemangku kepentingan, yang memiliki bertanggung jawab bersama terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan sekolah dalam menerapkan MBS amat dipengaruhi oleh kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong dan memberikan kesempatan sekolah menerapkan MBS di sekolah.

Baca Selengkapnya......

Minggu, 22 Mei 2011

SEKOLAH YANG EFEKTIF

0 komentar

Sekolah yang efekif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut:

1. Memiliki proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi.

Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki efektivitas proses . belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada intemalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani clan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari¬hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekeria (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).


2. Kepemimpinan sekolah yang kuat

Pada sekolah yang menerapkan MPMBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, clan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.

3. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib

Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting sekali.

4. Pengelolaan tenaga kependiikan yang efektif

Tenaga Kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MPMBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.

Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MPMBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.

5. Sekolah memiliki budaya mutu

Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/ mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (pun¬ishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.

6. Sekolah memiliki”teamwork” yang kompak, cerdas, dan dinamis

Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MPMBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.

7. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)

Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.

8. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat

Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.

9. Sekolah memilikiketerbukaan (transparansi) manajemen

Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS. Keterbukaan/ transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.

10. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik)

Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.

11. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan

Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus-menerus.
Perbaikan secara terns-menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.

12. Sekolah responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan

Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal¬hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.

13. Memiliki komunikasi yang baik

Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang balk, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah dipatok. Selain itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.

14. Sekolah memiliki akuntabilitas

Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MPMBS telah mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MPMBS yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.

15. Sekolah memiliki kamampuan menjaga sustainabilitas

Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik alam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri.

Baca Selengkapnya......

Kamis, 19 Mei 2011

SMADAV 8.5 PLUS KEYGEN

1 komentar


Jika anti virus anda terkena deteksi bajakan....maka seharusnya anda mencoba untuk mengatasi hal ini, tapi jika masih mendapatkan permasalahan tentang hal tersebut, maka tidak ada salahnya anda mencoba yang satu ini untuk mengatasinya....

Cobalah anda untuk mendownload smadav 8.5 plus dengan keynya ....mudah-mudahan berhasil....
SMADAV 8.5 : DOWNLOAD DISINI...
KEY SMADAV 8.5 : DOWNLOAD DISINI...

Baca Selengkapnya......

ASPEK PERPAJAKAN BANTUAN OPERASIONAL SISWA (BOS)

0 komentar

Tulisan ini mencoba menjelaskan aspek perpajakan dalam program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Aspek perpajakan di sini adalah aspek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas pembelian barang, aspek Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran imbalan jasa, aspek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pembayaran honorarium kepada guru atau tenaga administrasi, dan aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian barang dan jasa. Pembedaan jenis sekolah negeri dan bukan sekolah negeri akan memberikan dampak berbeda dalam praktek pemungutan PPh Pasal 22 dan pemungutan PPN. Pembayaran honor kepada guru atau pegawai yang berstatus PNS dan bukan PNS juga akan mengakibatkan perlakuan berbeda dalam pemotongan PPh Pasal 21.
Bantuan Operasional Sekolah (selanjutnya disingkat BOS), adalah salah satu bentuk program pemerintah di bidang pendidikan yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Selain itu, secara khusus program BOS juga mempunyai tujuan untuk :

Menggratiskan siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban operasional sekolah baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta
Menggratiskan seluruh siswa SD Negeri dan SMP Negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada sekolah RSBI dan SBI
Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Adapun besarnya dana BOS untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut :

Rp400.000,-/siswa/tahun untuk SD/SDLB di kota
Rp397.000,-/siswa/tahun untuk SD/SDLB di kabupaten
Rp575.000,-/siswa/tahun untuk SMP/SMPLB/SMP Terbuka di kota
Rp570.000,-/siswa/tahun untuk SMP/SMPLB/SMP Terbuka di kabupaten




YM ku>>>>>>>
GOOGLE TRANSLATE>>>>
Diberdayakan oleh Terjemahan
DAFTAR ISI

► 2009 (4)

► 2010 (5)

▼ 2011 (39)
► Januari (22)
► Februari (12)
► Maret (3)
► April (1)
▼ Mei (1)
ASPEK PERPAJAKAN BANTUAN OPERASIONAL SISWA (BOS)

ASPEK PERPAJAKAN BANTUAN OPERASIONAL SISWA (BOS)
di 02:34 Diposkan oleh moko 0 komentar

Tulisan ini mencoba menjelaskan aspek perpajakan dalam program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Aspek perpajakan di sini adalah aspek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas pembelian barang, aspek Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran imbalan jasa, aspek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pembayaran honorarium kepada guru atau tenaga administrasi, dan aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian barang dan jasa. Pembedaan jenis sekolah negeri dan bukan sekolah negeri akan memberikan dampak berbeda dalam praktek pemungutan PPh Pasal 22 dan pemungutan PPN. Pembayaran honor kepada guru atau pegawai yang berstatus PNS dan bukan PNS juga akan mengakibatkan perlakuan berbeda dalam pemotongan PPh Pasal 21.
Bantuan Operasional Sekolah (selanjutnya disingkat BOS), adalah salah satu bentuk program pemerintah di bidang pendidikan yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Selain itu, secara khusus program BOS juga mempunyai tujuan untuk :

Menggratiskan siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban operasional sekolah baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta
Menggratiskan seluruh siswa SD Negeri dan SMP Negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada sekolah RSBI dan SBI
Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Adapun besarnya dana BOS untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut :

Rp400.000,-/siswa/tahun untuk SD/SDLB di kota
Rp397.000,-/siswa/tahun untuk SD/SDLB di kabupaten
Rp575.000,-/siswa/tahun untuk SMP/SMPLB/SMP Terbuka di kota
Rp570.000,-/siswa/tahun untuk SMP/SMPLB/SMP Terbuka di kabupaten

Peraturan Pelaksanaan Perpajakan
Sebenarnya, petunjuk operasional perpajakan atas BOS ini sudah dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 02/PJ./2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan Dengan Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Oleh Bendaharawan Atau Penanggung Jawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS Di Masing-Masing Unit Penerima BOS. Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa ketentuan perpajakan selalu berkembang, apalagi dengan terbitnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, maka aturan pelaksanaan Pajak Penghasilanpun banyak yang sudah berubah.
Dengan kata lain, SE-02/PJ/2006 tidak lagi dapat dijadikan rujukan sepenuhnya tentang petunjuk pelaksanaan perpajakan program BOS karena beberapa peraturan yang dijadikan rujukan sudah berubah.
Berikut ini, saya inventarisir peraturan perpajakan terkait program BOS ini, yang sebagian dirujuk juga oleh SE-02/PJ/2006.

PPh Pasal 21 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009
PPh Pasal 22 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008
PPh Pasal 23 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008
PPN : Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003

Aspek PPh Pasal 21
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PER-31/PJ/2009 stdtd PER-57/P/2009, baik sekolah negeri maupun sekolah bukan negeri termasuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sehingga jika ada pembayaran penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21, maka baik sekolah negeri maupun negeri harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Dalam hal dana BOS digunakan untuk honor pada kegiatan penerimaan siswa baru, keiswaan, pengembangan profesi guru, penyusunan laporan BOS, dan kegiatan pembelajaran pada SMP Terbuka, maka pemotongan PPh Pasal 21 tunduk kepada pemotongan PPh pasal 21 atas peserta kegiatan sebagaimana diatur dalam PER-31/PJ/2009 dan PER-57/PJ/2009. Namun demikian, jika penerima honor adalah PNS, maka pemotongannya tunduk pada ketentuan dalam PP 45 Tahun 1994. Dengan demikian, perlakuan pemotongan PPh Pasal 21 atas honor jenis ini adalah sebagai berikut :

Atas pembayaran honor kepada guru dan pegawai lain yang bukan PNS, dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif Pasal 17 UU PPh, yang pada umumnya adalah 5% dari jumlah bruto.
Atas pembayaran honor kepada PNS yang bergolongan IIIA ke atas dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 15% final.
Atas pembayaran honor kepada PNS yang bergolongan IID ke bawah tidak dipotong PPh Pasal 21

Dalam hal dana BOS digunakan untuk membayar honor bulanan kepada guru honorer, guru tidak tetap (GTT) atau pegawai tidak tetap (PTT), yang bukan PNS, maka pemotongan PPh Pasal 21 tunduk kepada ketentuan dalam PER-31/PJ/2009 dan PER-57/PJ/2009. Dalam konteks penghitungan PPh Pasal 21 ini, guru jenis ini dapat digolongkan ke dalam pegawai tetap atau pegawai tidak tetap. Saya tidak tahu persis prakteknya seperti bagaimana di lapangan. Yang jelas, kalau honor bulanannya masih di bawah PTKP, maka atas honor ini tidak dipotong PPh Pasal 21. Besarnya PTKP minimal untuk tahun 2009 adalah Rp15.840.000 setahun atau Rp1.320.000 sebulan. Apabila melebihi PTKP, maka penghasilan yang di atas PTKP dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh (pada umumnya adalah 5% saja).
Perhitungan di atas didasarkan pada asumsi saya bahwa guru honorer atau GTT ini tidak diberikan honor bulanan lain selain dana yang berasal dari dana BOS ini.
Penggunaan dana BOS berikutnya yang merupakan objek PPh pasal 21 adalah pembayaran honor untuk tukang atau tenaga lepas yang melaksanakan kegiatan perawatan atau pemeliharaan sekolah. Pengenaan PPh Pasal 21 nya tunduk kepada PER-31/PJ/2009 dan PER-57/PJ/2009 sebagai berikut :

Dalam hal upah harian belum melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong
Dalam hal upah harian telah melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah harian dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%
Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000,00 dan kurang dari Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang yang harus dipotong adalah sebesar upah harian dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%
Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12

Aspek PPh Pasal 22
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008, yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang dananya berasal dari APBN/D adalah bendaharawan pemerintah. Dengan demikian, sekolah bukan negeri yang menerima dana BOS tidak berkewajiban untuk memungut PPh Pasal 22.
Sebaliknya, sekolah negeri adalah pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang danaya berasal dari BOS. Dengan demikian atas pembayatran pembelian barang yang daya berasal dari dana BOS dipotong PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari harha beli. Jenis pembelian ini misalnya pembelian ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain (baik untuk keperluan pengadaan formulir pendaftaran maupun untuk keperluan ujian sekolah, ulangan umum bersama dan ulangan umum harian); pembelian bahan-bahan habis pakai, seperti buku tulis, kapur tulis, pensil dan bahan pratikum; pembelian bahan-bahan untuk perawatan/perbaikan ringan gedung sekolah dan pembelian peralatan ibadah oleh pesantren salafiyah.
Pemotongan PPh Pasal 22 juga dilakukan dalam hal sekolah negeri membeli buku-buku pelajaran pokok maupun buku penunjang perpustakaan.
Dalam hal nilai pembelian tersebut tidak melebihi jumlah Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau pembelian barang tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22.
Aspek PPh Pasal 23
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, baik sekolah negeri maupun sekolah bukan negeri merupakan pemotong PPh Pasal 23. Objek PPh Pasal 23 dalam penggunaan dana BOS bisa timbul berupa pembayaran imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah kepada badan usaha. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, atas jasa seperti ini dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto.
Aspek Pajak Pertambahan Nilai
Aspek PPN dalam penggunaan dana BOS adalah terkait dengan pemungutan PPN atas pembelian barang atau jasa yang dananya berasal dari APBN/D. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah Dan Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara Untuk Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya, yang ditunjuk sebagai pemungut PPN ini adalah bendaharawan pemerintah. Dengan demiekian, sekolah yang bukan negeri tidak ada kewajiban pemungutan PPN.
Sebaliknya, bendahara sekolah negeri adalah bendaharawan pemerintah sehingga ia punya kewajiban pemungutan PPN atas pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan cara memungut PPN terutang dan menyetorkan ke kas negara atas nama rekanannya.
PPN tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. PPN juga tidak dipungut dalam hal pembayaran atas penyerahan BKP/JKP yang PPN nya dibebaskan.
Jadi, terkait dengan penggunaan dana BOS oleh sekolah negeri, perlakuan PPN nya adalah sebagai berikut :

Dipungut PPh Pasal 22 atas pembelian ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain pada kegiatan penerimaan siswa baru, keisswaan, ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa, pembelian bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil dan bahan praktikum serta pembelian bahan untuk perawatan dan pemeliharaan sekolah. PPN tidak dipungut dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
Atas pembelian buku-buku teks pelajaran umum dan agama serta kitab suci, PPN nya dibebaskan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2003. Dengan demikian atas pembelian buku-buku seperti ini bendaharawan sekolah negeri tidak memungut PPN.


Tarif Lebih Tinggi
Dengan berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2008, ketentuan tentang pemotongan dan pemungutan PPh mengalami perubahan. Salah satunya adalah penerapan tarif lebih tinggi bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP. Untuk itu perlui diperhatikan oleh bendahara BOS apakah penerima penghasilan memiliki NPWP atau tidak. Fotocopy NPWP kiranya perlu diminta untuk membuktikan kepemilikan NPWP ini.
Untuk PPh Pasal 21, preenerima penghasilan yang tidak berNPWP dipotong pajak dengan tarif 20% lebih tinggi. Jadi, kalau misalnya tarif normal 5% maka kalau yang tidak berNPWP dipotong tarif 20% lebih tanggi menjadi 6%. Untuk PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23, penerima penghasilan yang tidak berNPWP dikenakan tarif 100% lebihh tinggi. Jadi, kalau tarif normal PPh Pasal 22 adalah 1,5%, bagi yang tak berNPWP, tarifnya adalah 3%. Kalau tarif PPh Pasal 23 bagi yang berNPWP adalah 2%, bagi yang tak berNPWP tarifnya adalah 4%.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap 2009
Contoh berikut ini adalah lanjutan dari postingan saya sebelumnya tentang contoh perhitungan PPh Pasal 21 untuk karyawan. Tulisan tersebut saya buat ketika belum berlaku UU Nomor 36 Tahun 2008 dan ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 21 tahun 2009. Nah, untuk itu contoh dalam postingan tersebut saya modifikasi menjadi contoh yang relevan untuk tahun 2009.
Misal, Tukul Arwana pegawai pada perusahaan PT Empat Mata, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp. 4.000.000,00. PT Empat Mata mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Empat Mata menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Tukul Arwana membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Empat Mata juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya.
PT Empat Mata membayar iuran pensiun untuk Tukul Arwana ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp. 140.000,00, sedangkan Tukul Arwana membayar iuran pensiun sebesar Rp.100.000,00.
Perhatikan, perhitungan untuk mengetahui berapa besarnya pajak (penghasilan) yang harus dipotong PT Empat Mata untuk satu bulannya.
Gaji sebulan 4.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 20.000
Premi Jaminan Kematian 12.000
Jumlah
Penghasilan Bruto 4.032.000

Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 201.600
2. Iuran Pensiun 100.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua 80.000
Jumlah Pengurangan 381.600
Penghasilan Neto Sebulan 3.650.400
Penghasilan Neto Setahun 43.804.800
PTKP
- Diri WP Sendiri 15.840.000
- Status Kawin 1.32.000
Jumlah PTKP 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun 26.644.800
Pembulatan 26.644.000
PPh Pasal 21 Setahun 5% x Rp26.644.000 1.332.200
PPh Pasal 21 Sebulan Rp1.332.200 / 12 111.017
Langkah pertama kita menjumlahkan penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh karyawan atau pegawai secara teratur dalam sebulannya. Yang termasuk dalam penghasilan bruto ini misalnya adalah gaji, tunjangan-tunjangan, uang lembur dan premi asuransi yang ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk dalam penghasilan bruto adalah imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Dalam contoh di atas penghasilan bruto yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah gaji, premi jaminan kecelakaan kerja (5% dari gaji) dan premi jaminan kematian (0,3% dari gaji) yang dibayar atau ditanggung perusahaan.
Langkah berikutnya kita hitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada dasarnya ada dua macam yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termsuk iuran jaminan hari tua). Biaya jabatan sendiri besarnya
5% dari penghasilan bruto 5% x Rp4.032.000,00 atau sama dengan Rp201.600,00. Jumlah ini masih di bawah maksimum yang diperkenankan yaitu sebesar Rp500.000,00 per bulan.
Pengurang lainnya adalah iuran pensiun dan iuran JHT yang masing-masing Rp100.000,00 dan Rp80.000,00 (2% dari gaji) per bulan. Iuran pensiun dan iuran JHT yang dibayar atau ditanggung oleh perusahaan tidak dapat dikurangkan. Dengan demikian, jumlah seluruh pengurang adalah Rp381.600,00.
Penghasilan bruto Rp4.032.000,00 dikurangi pengurang Rp381.600 sama dengan Rp3.650.400,00. Jumlah inilah yang dimaksud dengan penghasilan neto sebulan. Selanjutnya penghasilan neto sebulan ini kita buat setahunkan dengan cara penghasilan neto sebulan dikali 12 bulan atau Rp3.650.400 x 12 = Rp43.804.800,00.
Setelah itu barulah kita kurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dalam hal ini jumlahnya adalah Rp17.160.000,00. Selisihnya (Rp43.804.800 – Rp17.160.000,00 = Rp26.644.800) inilah yang merupakan Penghasilan Kena Pajak. O, ya. Perlu diketahui juga, sebelum dikalikan tarif pajak, Penghasilan Kena Pajak tersebut harus dibulatkan dulu ribuan penuh ke bawah.
Pajak Penghasilan terutang adalah tarif pajak (berdasarkan tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan) dikalikan Penghasilan Kena Pajak. Karena Penghasilan Kena Pajak ini masih di bawah Rp50.000.000,- maka tarif yang dikenakan adalah 5% sehingga PPh Pasal 21 nya adalah 5% x Rp26.644.800,00 = Rp1.332.200,00.
Nah, karena kita menghitung PPh Pasal 21 untuk satu bulan, maka PPh Pasal 21 terutang di atas tinggal dibagi 12 sehingga pajak yang dipotong oleh PT Empat Mata atas penghasilannya Tukul Arwana adalah Rp1.332.200 : 12 = Rp111.017,00.


Baca Selengkapnya......
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

FANS BOX